SUMPAH RADEN PATAH (FATAH)

SUMPAH RADEN PATAH (FATAH)


Pada saat menjadi seorang Pemuda Raden Patah memilih mengembara menyusuri tanah Jawa, tanah leluhur ayahnya Bre Kertabumi untuk mengadu peruntungan, di Palembang ia dikabarkan menolak dijadikan Adipati menggantikan ayah angkatnya, mungkin  Raden Patah Sadar bahwa ia tiada berhak atas tahta itu, sebab ia bukan anak biologis sang Adipati.


Dalam pengembaraannya dari Palembang ke Jawa, pertama-tama ia menuju Semarang, sebab kala itu Semarang merupakan salah satu Pelabuhan besar milik Kerajaan Majapahit yang aksesnya mudah ditempuh dari Palembang. Selepas terombang-ambing dalam kapal selama berminggu-minggu akhirnya Raden Patah dan adiknya sampai juga di Semarang.


Dalam catatan Kuil Sam-Po-Kong sebagaimana yang dikutip Slamet Muljana (2005;91), disebutkan bahwa Jin Bun (Raden Patah) dan Kin San (Raden Hasan) berangkat ke Pulau Jawa pada tahun 1474. Keduanya mendarat di Semarang. Di Kota itu keduanya mengunjungi Masjid yang dahulu dibangun oleh leluhurnya Sam-Po-Kong (Cengho). Namun sesampainya di Masjid itu, ternyata didalamnya terdapat Patung Sam-Po-Kong.


Masjid itu telah berupah menjadi Kuil, leluhurnya Ceng Ho dipuja, bahkan disembah, dalam keadaan ini Raden Patah menangis sejadi-jadinya, ia meratap di depan Patung Cengho. Selepas peristiwa itu ia bersumpah dan berdoa, kelak ia akan mendirikan Masjid yang tidak akan berubah menjadi kuil pemujaan (Klenteng).


Masih dalam catatan Kronik Cina Kuil Sam-Po-Kong disebutkan bahwa setelah berguru selama satu Tahun di Ampel, Raden Patah kemudian membuka lahan kosong di daerah berawa yang letaknya di sebelah timur Semarang tepatnya di Kaki Gunung Muria pada tahun 1475, ditempat itu ia membangun Pesantren dan mendidik santri-santrinya dengan ilmu Agama, kemiliteran dan kenegaraan, ilmu yang dahulu ia peroleh dari Sunan Ampel dan ayah angkatnya. 


Kelak, 3 tahun kemudian Raden Patah berhasil mendirikan Masjid yang ia impi-impikan yaitu Masjid yang nantinya tidak akan berubah menjadi kuil penyembah dirinya, Masjid itu kemudian dikenal dengan nama Masjid Agung Demak.