Biografi Lengkap Syaikh Abdul Ghani Al-Bimawi Al-jawi.

Biografi Lengkap Syaikh Abdul Ghani Al-Bimawi Al-jawi.


Versi Pertama

1.)Syaikh Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail bin abdul Karim Al-Bimawi Al-Jawi atau yang kerap disebut Al-Bimawi saja, adalah seorang Ulama besar yang sangat masyhur di dunia Islam pada paruh abad ke-19. Keluasan ilmunya menyebabkan beliau diangkat menjadi seorang ulama pengajar di Madrasah Haramayn, Makkah. Beliau menjadi tempat berguru banyak ulama yang datang ke Madrasah Haramayn. Jika kita melacak garis genealogi atau hubungan kekerabatan intelektual Abdul Ghani dengan ulama-ulama di Indonesia kira-kira pertengahan abad ke-19, Abdul Ghani tergolong salah satu moyang ulama Nusantara.

Syekh Mahdali, cucu Abdul Ghani


Syaikh Abdul Ghani lahir di paruh terakhir abad ke-18 kira-kira tahun 1780 M di Bima, Nusa Tenggara Barat. Tidak ada catatan pasti mengenai kapan hari lahir Syaikh Abdul Ghani. Yang jelas beliau berasal dari lingkungan keluarga ulama yang memiliki kegandrungan tinggi dalam mengkaji Al-Qur’an. Orang tua Abdul Ghani adalah seorang ulama hafidz Al-Qur’an.


Kakek buyut Syaikh Abdul Ghani bernama Abdul karim, seorang da’i asal Makkah kelahiran Baghdad. Konon Abdul Karim sampai ke Indonesia pertama kali menuju Banten, untuk mencari saudaranya. Dari Banten, Abdul Karim mendapat informasi bahwa saudaranya itu ada di Sumbawa. Pergilah ia ke sana dan sampai di Dompu. Seraya berdagang tembakau, Abdul Karim menyiarkan Islam. Hal itu menarik perhatian Sultan Dompu, lalu beliau diambil menjadi menantu. Dari pernikahan dengan puteri Sultan Dompu itu, Abdul Karim mendapat anak laki-laki bernama Ismail. Ismail pun mengikuti jejak ayahnya menjadi mubaligh. Ismail kemudian menikah dan mempunyai anak bernama Subuh.


Syaikh Subuh bin Ismail bin abdul Karim sejak muda sudah hafal Al-Qur’an. Ia kemudian mengembara ke timur kea arah teluk Bima, wilayah kekuasaan Kesultanan Bima. Kehebatan ilmunya membuat Sultan Alauddin Muhammad Syah (1731-1743) yang menjadi penguasa Kesultanan Bima saat itu mengundangnya ke istana. Beliau didaulat menjadi imam kesultanan. Menulis Al-Qur’an  Mushaf Bima adalah prestasi luar biasa ulama ini. Mushaf yang beliau tulis diberi julukan La Lino, yang berarti melimpah ruah atau menyeluruh (Arab: Asy Syamil).


Karyanya itu menjadi satu-satunya Al-Qur’an Mushaf Bima. Kitab tersebut dulunya tersimpan di kediaman keluarga sultan di Bima dan sekarang tersimpan di Museum Al-Qur’an Jakarta, dan pada tahun 2012 mendapat penghargaan sebagai mushaf Al-Qur’an terbaik dan terindah yang diselenggarakan di Yogyakarta dan menarik sekian banyak pengunjung yang hadir menyaksikannya. La Lino juga termasuk salah satu mushaf tertua di Indonesia.


Dalam pengembaraannya ke teluk Bima, Syaikh Subuh sempat menikahi seorang gadis dari Kampo Sarita, Donggo (sekarang masuk wilayah Desa Sarita, Kecamatan Soromandi, Kabupaten Bima). Dari pernikahan itu lahirlah Abdul Ghani.


Abdul Ghani kecil melawat ke Makkah dan belajar dari para ulama di sana seperti Al-‘Allamah As-Sayyid Muhammad Al-Marzuqi dan saudaranya, Sayyid Ahmaq Al-Marzuqi -penulis ‘Aqidatul ‘Awwam-, Muhammad Sa’id Al-Qudsi -mufti madzhab syafi’i-, dan Al-‘Allamah ‘Utsman Ad-Dimyathi. Syaikh Abdul Ghani banyak mengambil faidah dari para ulama ini. Sebagaimana yang dicatat oleh Khairuddin Az-Zirikli dalam kamus tarajimnya, Al-A’lam.


Nama Abdul Ghani sangat masyhur di dunia Islam pada paruh abad ke-19. Keluasan ilmunya menyebabkan beliau menjadi tempat berguru banyak ulama yang datang ke Madrasah Haramayn, Mekah. Termasuk di antaranya banyak ulama dari tanah Jawi (sebutan orang Arab untuk Nusantara waktu itu). Sebagaimana dicatat oleh Khairuddin Az-Zirikli, Syaikh ‘Abdul Ghani Al-Bimawi telah ‘meluluskan’ mayoritas ulama Jawa seperti Syaikh Ahmad Khathib bin ‘Abdul Ghaffar As-Sambasi; Syaikh Muhammad Nawawi bin ‘Umar Al-Bantani, pemilik karya-karya ilmiah seperti Tafsir Muroh Labid / At-Tafsir Al-Munir li Ma’alimit Tanzil, yang juga pendapat anugrah berupa gelar ‘Sayyid Ulamail Hijaz’ dari Negeri Timur. Syaikh Muhammad Nawawi bin ‘Umar Al-Bantani, atau Syaikh An-Nawawi Al-Bantani adalah guru dari Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama, TGH. Zainuddin Abdul Majid pendiri Nahdlatul Wathan di Lombok, Syaikh Tubagus Ahmad Bakri dari Purwakarta, Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Kyai Agung Asnawi dari Banten, Abuya Dimyati dari Banten, Syaikh Mubarok bin Nuh Muhammad dari Tasikmalaya, KH. Abdul Karim dari Kediri, KH. Muhammad falak dari Bogor, dll. Syaikh Abdul Ghani senantiasa menyibukkan diri dengan mengajar, ibadah & menulis.


Syaikh Abdul Ghani sempat “pulang kampung” ke Dompu pada tahun 1857 di masa pemerintahan Sultan Salahuddin[1] yang bergelar Mawa’a Adi (Sang Pembawa Keadilan) dan tinggal beberapa waktu. Beliau sempat membangun sebuah masjid yang kemudian diberi nama Masjid Syekh Abdul Ghani sesuai namanya. Masjid yang merupakan Masjid Kesultanan ini berlokasi di Kampo Sigi (sekarang Lingkungan Sigi, Kelurahan Karijawa, Kecamatan Dompu).[2] Masjid ini beratap susun tiga yang merupakan corak bangunan dari pengaruh Hindu. Dindingnya terbuat dari kayu jati dan lantainya dari batu. Masjid ini terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu hingga dibongkar pada tahun 1962. Dan saat ini di atasnya berdiri kantor Kelurahan Karijawa. Menurut hasil survey Tim Survey Kepurbakalaan Depdikbud yang meneliti puing-puing bangunan itu pada tahun 1974, luas bangunan masjid ini adalah 25×15 m. Lantainya terbuat dari tegel batu dengan panjang 54 cm, lebar 48 cm dan tebal 3,5 cm. Dindingnya terbuat dari batu bata merah dengan lebar 26 cm dan tebal 8 cm.[3]


Menurut Syaikh Mahdali cucu beliau, dalam sebuah wawancara di tahun 1985, Syaikh Abdul Ghani sempat diangkat menjadi Qadhi Kesultanan Dompu oleh Sultan Dompu. Sultan Dompu menghadiahkan kepada beliau 57 petak sawah di So Ja’do.[4] Di sinilah beliau mendirikan sebuah masjid dan pesantren yang ramai didatangi penuntut ilmu dari Dompu, Bima dan Sumbawa.[5] Namun saat ini masjid dan pesantren itu sudah tidak ada lagi.


Setelah beberapa lama tinggal di Dompu, beliau kemudian kembali ke Makkah. Sayangnya Syaikh Abdul Ghani tidak terlalu banyak meninggalkan catatan dalam sejarahnya. Beliau wafat di Mekah pada tahun 1270-an H atau pada dasawarsa terakhir abad ke-19 M dan dimakamkan di Ma’la.


Di Dompu, keturunan Abdul Karim sangat dihormati. Mereka dipanggil Ruma Sehe. Ruma adalah sebuah kata bermakna plural yang dapat berarti pemilik (owner), Tuhan (God), atau tuan (mister). Sedangkan Sehe adalah kata serapan dari kata dalam Bahasa Arab, Syaikh yang bermakna kakek atau orang yang sudah tua. Di dalam khasanah Islam kata Syaikh kemudian menjadi gelar bagi seorang ulama yang sangat tinggi ilmu agamanya. Ruma Sehe dapat berarti Tuan Syekh atau Gusti Syekh. Ruma adalah sebutan bagi para Raja di Dompu dan keturunannya. Setara dengan sebutan Gusti bagi raja di Jawa. Sedangkan Syaikh Abdul Ghani adalah keturunan dari Abdul karim dengan seorang puteri Sultan Dompu.


Syaikh Abdul Ghani memiliki seorang anak di Dompu bernama Syaikh Mansyur. Beliaulah yang menggantikan Syaikh Abdul Ghani menjadi Qadhi Kesultanan Dompu dan mewarisi 57 petak sawah di So Ja’do. Di tempat tersebutlah Syaikh Mansyur menetap dan menjadikannya sebagai pusat dakwah. Oleh karena itu beliau lebih dikenal dengan nama Sehe Ja’do. So berarti padang atau areal. Ja’do adalah nama sebuah areal pertanian yang terdiri atas areal bukit dan persawahan yang sangat subur dengan irigasi yang memadai. Saat ini So Ja’do masuk dalam wilayah Kelurahan Bali Satu. Terletak di sebelah utara jalan lintas luar Dompu dari pom bensin Karijawa sampai cabang Sawete.


Syaikh Muhammad dan Syaikh Mahdali (Sehe Boe) adalah dua orang anak dari Syaikh Mansyur sekaligus cucu dari Syaikh Abdul Ghani Al-Bimawi. Syaikh Mahdali atau di Dompu lebih akrab dipanggil Sehe Boe sempat menjadi Qadhi Kesultanan Dompu di masa-masa akhir Kesultanan Dompu. Setelah Kesultanan Dihapuskan, beliau menghabiskan sisa-sisa umurnya dengan mendekatkan diri pada Allah di tempat tinggalnya di kampo kareke,dompu,tetapi ada sebagian ahli sejarah mengatakan di Kampo Lapadi (sekarang Desa Lepadi) sampai beliau berpulang ke hadirat Allah SWT. 


Versi kedua

2.)ULAMA DOMPU YANG DIMAKAMKAN DI MA'ALA MAKKAH

Wafatnya Hadratusy Syaikh KH. Maimoen Zubair membawa duka bagi semua insan yg lurus imannya. Ulama kharismatik asal Indonesia ini telah meninggalkan kita untuk selamanya. Tinggallah ilmu dan nasihat petuah beliau yg akan selalu diikuti oleh orang-orang yang mencintai ilmu dan ulama'. Beliau wafat ketika pada tanggal 7 Agustus 2019 bertepatan dengan tanggal 6 Dzulhijjah 1440 H. Beliau dimakamkan pada hari yang sama di Ma'la. Yakni kompleks pemakaman para sahabat Rasulullah dan para ulama besar.

.

Ketika membaca tentang berita bahwa Mbah Moen akan dimakamkan di Ma'la. Ingatan penulis langsung menerawang menuju masa lalu. Ya di sana, di Ma'la terbaring pula jasad seorang ulama besar yang pernah berperan besar dalam percaturan dakwah di Makkah, Selangor, Lombok, Bima, dan Dompu. Beliaulah Syaikh Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail bin Abdul Karim. Karena dahulu orang menggunakan nama Bima untuk menyebut Bima dan Dompu, maka orang Arab memberinya nama laqab Al-Bimawi. Karena dahulu orang menggunakan nama Jawa untuk menyebut Nusantara (Indonesia, Malaysia, Filipina), maka orang Arab memberinya laqab Al-Jawi. Syaikh Abdul Ghani Al-Bimawi Al-Jawi, begitulah orang Arab menggelari beliau.

.

Berbicara tentang Syaikh Abdul Ghani bin Subuh Al-Bimawi Al-Jawi, memang tidak akan ada habisnya. Ulama ini adalah salah satu wali Allah yang luas ilmunya dan dihormati seluruh ulama' di zamannya. Terlepas genealogis beliau yg merupakan keturunan Arab, namun penulis pribadi lebih memilih menyematkan julukan "Dou Dompu" untuk beliau. Di sinilah nenek buyutnya berasal, di sini pula anak cucu serta cicitnya tinggal hingga kini.

.

Menurut Tajib (1995), kakek buyut Syaikh Abdul Ghani adalah seorang muballigh kelana bernama Abdul karim dari Makkah keturunan Baghdad. Abdul Karim sampai ke Indonesia pertama kali menuju Kesultanan Banten, untuk mencari saudaranya yang bernama sama dengan dirinya. Di Banten, Abdul Karim mendengar berita bahwa saudaranya tersebut berada di Sumbawa. Ia pun menyusul ke Sumbawa. Namun setibanya di Sumbawa, ia mendapatkan berita bahwa saudaranya itu telah meninggal. Iapun melanjutkan kelananya dan sampai di Kesultanan Dompu. 

.

Di Kesultanan Dompu, Abdul Karim berdakwah dengan berdagang tembakau. Ia tidak menjual tembakau untuk ditukar dengan uang atau barang lain. Namun, setiap orang yang menginginkan tembakaunya harus membelinya dengan dua kalimat syahadat dan berguru kepadanya. Abdul Karim melaksanakan shalat berjamaah dan menggelar pengajian bersama para pengikutnya yang semakin lama makin bertambah. Dakwahnya pun menarik perhatian salah seorang penguasa di Kesultanan Dompu. Iapun diundang ke istana. Ia juga menikah dengan seorang gadis kalangan istana (Tajib, 1995: 407). Menurut Israil M. Saleh, penguasa di Dompu yang dimaksud adalah Ncuhi Nowa, penguasa wilayah Ke-Ncuhi-an yg terletak di bagian barat Kesultanan Dompu.

.

Ayah dari Syaikh Abdul Ghani, yakni Syaikh Subuh bin Ismail sejak muda sudah hafal Al-Qur’an dan ditempa dengan berbagai ilmu keislaman di Dompu. Setelah ilmunya dirasa cukup, beliau mengarahkan aktivitas dakwahnya ke arah wilayah Kesultanan Bima di bagian barat teluk di mana masih banyak masyarakat yang belum memeluk Islam. Sebagai strategi agar dakwahnya diterima, Syaikh Subuh menikahi wanita setempat yakni dari Suku Donggo di Kampung Sarita. Dari pernikahan itu maka lahirlah Abdul Ghani kecil. 

.

Keberhasilan Syaikh Subuh mendakwahi Suku Donggo pesisir ini lantas didengarlah oleh Sultan Alauddin Muhammad Syah (1731-1743) yang menjadi penguasa Kesultanan Bima saat itu. Sultan mengundangnya ke istana  dan mengangkatnya menjadi imam kesultanan. Beliau dan keluarganya tinggal di So Nggela, di tepi teluk Bima. Abdul Ghani kecil pun mengikuti ayah ibunya dan tumbuh dalam lingkungan birokrasi istana Bima serta di bawah bimbingan ayahnya.

.

Pada usia remaja Abdul Ghani dikirim untuk belajar agama kepada para ulama' di Kesultanan Banten beberapa tahun. Dari sana beliau kemudian melanjutkan ke Makkah. Beliau pun menungut ilmu dari para ulama di sana seperti Al-‘Allamah As-Sayyid Muhammad Al-Marzuqi dan saudaranya, Sayyid Ahmaq Al-Marzuqi -penulis ‘Aqidatul ‘Awwam-, Muhammad Sa’id Al-Qudsi -mufti madzhab syafi’i-, dan Al-‘Allamah ‘Utsman Ad-Dimyathi. Syaikh Abdul Ghani banyak mengambil faidah dari para ulama ini. Sebagaimana yang dicatat oleh Khairuddin Az-Zirikli dalam kamus tarajimnya, Al-A’lam.

.

Abdul Ghani menjadi tersohor berkat keberhasilannya memanangkan sayembara yang diadakan oleh Pemerintah Khilafah Turki Utsmani di Makkah. Pada saat itu Makkah dan seluruh Arab menjadi bagian dari Khilafah Utsmani. Berkat itu beliau diberi gelar syaikh dan diangkat menjadi pengajar di Madrasah Al-Haram Makkah.

.

Syaikh Abdul Ghani memiliki banyak murid, termasuk para penuntut ilmu dari Nusantara. Salah satu murid beliau yang paling terkenal adalah Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi. Syaikh Nawawi Al-Bantani adalah guru dari Syaikh Hasyim Asy'ari pendiri Nahdlatul Ulama'.

.

Syaikh Abdul Ghani sempat pulang kampung ke Dompu pada awal Abad XIX kemudian beliau diangkat menjadi Qadhi Kesultanan Dompu oleh Sultan Dompu. Beliau menikahi seorang wanita asal Dompu dan melahirkan anak bernama Mansyur yang kelak melanjutkan dakwahnya di Dompu dan Bima. Setelah beberapa lama tinggal di Dompu, beliau kemudian kembali ke Makkah. Sayangnya Syaikh Abdul Ghani tidak terlalu banyak meninggalkan catatan dalam sejarahnya. Beliau wafat di Mekah pada tahun 1270-an H atau pada dasawarsa terakhir abad ke-19 M dan dimakamkan di Ma’la.

.

Pekuburan Ma'la terletak kurang lebih 1,5 km dari Masjidil Haram. Kompleks pekuburan Ma'la itu sangat istimewa. Karena di situ adalah tempat dimana Istri Baginda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, yakni Sayyidah Khadijah radhiyallahu 'anha dan para sahabat rhadhiyallahu 'anhum dikuburkan.

.

Tentang keutamaan Ma’la, Sayyid Afifuddin Al-Mahjub dalam Kitabnya Uddatul Inabah Fil Amakin Al-Mustajabah menjelaskan sebagai berikut :


???? ??? ? (??? ??? ???? ????? ??? ???? ?????? ?????? ? ???? : ??? ????? ? ???? : ?? ???? ?????? ? ??? : ?? ???? ?????? ?? ????? ??? ?????? ?? ?????) . [??? ??????? ?? ??????? ????????? ? ? ???]


Diriwayatkan dari Baginda Rasulillah ? : “Sesungguhnya Beliau bertanya kepada Allah Ta’ala tentang apa (yg akan diberikan) kepada Ahli Baqi’ al-Gharqad ? Allah Ta’ala menjawab : Mereka akan dimasukkan ke surga. Beliau ? bertanya lagi : Ya Rabb, kalau bagi Ahli Ma’la apa yg akan berikan ? Allah Ta’ala menjawab : "Kau bertanya tentang nasib tetanggamu (Ahli Baqi’) maka tak usahlah kau bertanya tentang tetanggaku."

.

Subhanallah, jika penghuni pekuburan Baqi' di Madinah mendapat jaminan surga Allah, bagaimana pula dengan penghuni pekuburan Ma'la yang disebut sebagai tetangga Allah??? 


Foto : 

-Syaikh Mahdali (Sehe Boe) bin Syaikhuna Mansyur Bin Syaikhuna Abdul Gani.

-Drs. H. Najamuddin (Ami Di) Bin Syaikhuna Mahdali Bin Syaikhuna Mansyur Bin Syaikhuna Abdul Gani.

-H. Thalib Daya (Ruma La Baka)

-Syaikh Jado

-Sultan Dompu

-Muhammad Ruslan (Dae olan)

-Kediaman RUMA SEHE, Dikampung Kareke,Dompu


(Zulfikar Al-Battar-Sang jiwa Petarung Sejati)