Raden Ayu Srimulat, sang primadona Jawa yg berjiwa modern.

Raden Ayu Srimulat,

sang primadona Jawa yg berjiwa modern.

(7 Mei 1905 – 1 Desember 1968) 


Adalah pemain sandiwara panggung, pemain film & penyanyi pada era akhir 50-an hingga akhir 60-an. R.Ayu Srimulat adalah anak dari R.M Aryo Rumpoko Tjitrosoma, seorang wedono di Bekonang, Mojolaban, Sukoharjo, Jawa Tengah & R. Ayu Sedah. Lahir di Desa Botokan, Klaten pada 7 Mei 1905. Setelah ibu kandungnya wafat, pada usia 6 tahun Srimulat dibawa ke rumah kakak ayahnya, Raden Mas Sunarjo. Sunarjo waktu itu bekerja sebagai komisaris asisten residen di Klaten. Gadis kecil itu disekolahkan kakaknya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di kawasan Klaseman, Gatak, Sukoharjo. Baru setelah menginjak usia remaja, Srimulat kembali ke rumah ayahnya yg ditunjuk menjadi wedono di Bekonang, Sukoharjo. Ia melanjutkan sekolahnya di Koningin Emma School di Solo. Hanya beberapa bulan mengenyam pelajaran, Srimulat disuruh berhenti sekolah oleh ibu tirinya. Putri ningrat tak perlu sekolah tinggi-tinggi, begitu kata ibu tirinya. Srimulat sangat terpukul. Apalagi ia tak mendapat pembelaan dari ayahnya. Srimulat lantas dipingit. Seperti kisah putri2 bangsawan yg menjalani pingitan, masa remaja Srimulat hanya dihabiskan dlm kungkungan dinding kewedanaan saja. Ia belajar berbagai macam keterampilan dari para abdinya. Usianya baru 12 tahun tapi sudah pintar menembang, menari, & juga membatik. Kadang2 kalau lagi senggang, ayahnya  kadang2 mendampingi Srimulat & saudara2nya di saat belajar menari & menembang. Hidup Srimulat penuh dgn suara tembang, bunyi gamelan & gerak tari. Dibandingkan saudara2nya, Srimulat anak yg paling cepat menangkap ajaran kesenian yg diberikan ayah & abdinya. Orang tuanya lalu menikahkan Srimulat dgn seorang kerabat dekat ayahnya bernama Raden Hardjowinoto. Usianya waktu itu baru 15 tahun. Rumah tangganya tak berlangsung lama. Srimulat diterpa kemalangan secara beruntun. Anaknya yg baru berusia 2,5 tahun meninggal dunia lalu disusul suaminya 3 bulan kemudian. Kesedihannya semakin bertambah saat ayahnya mencari selir2 baru. Muak akan kehidupan feodal priyayi & praktik perseliran di dalam kompleks rumahnya sendiri Srimulat bertekad minggat. Suatu malam ia memutuskan kabur dari rumah. Berbekal uang 3,5 sen ia pergi ke Surakarta lalu ke Yogyakarta. Ia melamar kerja ke dalang Ki Tjermosugondo yg sedang kondang. Setahun kemudian, Srimulat bergabung dgn Ketoprak Candra Ndedari pimpinan Ki Retsotruno yg kebetulan sedang pentas di Alun-alun Utara. R.A.Srimulat mengawali kiprahnya sebagai pemain rombongan ketoprak Mardi Utomo di Magelang & Rido Carito. Ketenarannya menembus baik lapisan atas maupun bawah masyarakat. Srimulat tak segan menari bersama penari2 lokal di sejumlah daerah membawakan tari2an daerah yg tak begitu dikenal. Ia juga bersedia diundang dlm acara tradisional penebangan pohon2 jati tua di sebuah desa di Blora, Jawa Tengah. Srimulat pindah ke panggung Wayang Orang Ngesthi Rahayu yg dipimpin Nyi Murtiasih dari Jawa Timur. Kebetulan suami Murtiasih punya grup orkes yg sering tampil di pesta perkawinan. Srimulat pun diminta bernyanyi dgn iringan musik irama keroncong & Hawaiian. Sewaktu digelar pasar malam di Magelang, ia berjuampa dengan Mannoek, bos penyelenggara pasar malam. Ia pun berkelana dari kota ke kota mengisi panggung hiburan pasar malam. Dalam waktu singkat Srimulat, anak priyayi & gadis pingitan itu, menjelma menjadi perempuan yg mandiri. Ia menentang arus saat itu, menolak menjadi Raden Ayu & memilih menjadi sri mahapanggung atau ratu panggung,. 

Pendiriannya yg keras membuatnya membela mati2an seorang pesinden bernama Nyai Mas Sulandjari yg berhasil memenangkan lomba kontes batik di Pasar Malam Amal Yogyakarta pada 1938. Kemenangan Sulandjari itu diprotes keras para bangsawan Yogyakarta  & Surakarta. Apalagi Sulandjari berhasil mengalahkan putri-putri ningrat. Mendengar Sulandjari dihina, Srimulat melawan para bangsawan itu. Melalui wawancara dengan mingguan Darmo Kondho & Penjebar Semangat, Srimulat menyatakan dukungannya kepada Sulandjari sembari mengkritik keras para kaum ningrat. "Siapa yg lebih berhak memberikan penilaian dlm kontes semacam itu?," tanyanya sinis. Di sisi lain, Srimulat pernah dikontrak untuk masuk dapur rekaman oleh perusahaan piringan hitam Burung Kenari, Columbia & His Master's. Suara merdunya yg melantunkan lagu Kopi Susu, Padi Bunting, Janger Bali, dsb. Saat itu hanya kaum berpunya saja yg bisa memiliki gramofon untuk memutar piringan hitam. Budayawan Arswendo Atmowiloto menggambarkan Srimulat sebagai seorang penampil yg meletakkan dasar2 seorang artis modern. "Sikapnya terbuka pada segala jenis tarian. Ia turun ke pelosok, ke pusat keramaian membawakan secara live lagu yg sedang ngetop." Di pentas wayang orang ia tampil di kelompok Srikuncoro. Selain itu, ia juga pernah membintangi film Sapu Tangan (1949), Bintang Surabaja (1951), Putri Sala (1953), Sebatang Kara (1954) dan Radja Karet dari Singapura (1956). Teguh Srimulat. yg merupakan suami terakhir sekaligus suami yg be