Islam Dalam Darah Prabu Siliwangi
Memang Islam bukanlah agama pertama yang dibawa ke Nusantara, jauh sebelum itu sekitar abad ke-2 dan abad ke-4 Masehi, ada agama lain seperti Hindu dan Buddha, yang telah lebih dulu tiba di Nusantara. Agama Hindu sendiri mulai berkembang di pulau Jawa pada abad ke-5 Masehi, dan bertahan selama lebih dari 500 tahun. Kerajaan Pajajaran termasuk yang berhasil menjaga ajaran Hindu, agar bisa terus bertahan di tatar Sunda.
Tidak hanya bertahan, bahkan di bawah kekuasaan Prabu Siliwangi yang memiliki nama asli Raden Pamanah Rasa, atau Pangeran Jaya Dewata, Kerajaan Pajajaran kemudian menjelma menjadi Kerajaan Hindu-Budha terbesar yang pernah ada di barat pulau Jawa. Namun besarnya pengaruh Prabu Siliwangi di tatar Sunda tidak menjadi jaminan ajaran Hindu akan tetap bertahan lama, sebab terbukti Prabu Siliwangi gagal mewariskan agama Hindu kepada generasi berikutnya.
Ada yang menarik dari kisah cinta antara Prabu Siliwangi dengan putri Ki Gedheng Tapa bernama Nyai Subang Lara, sebelum Prabu Siliwangi mempersunting Nyai Subang Lara, seorang guru spiritual dari Nyai Subang Lara, yang bernama Syaikh Hasanuddin dari Pondok Quro Pura Dalem Karawang, meminta kepada Prabu Siliwangi agar memenuhi syaratnya jika akan mempersunting Nyai Subang Lara.
Syarat pertama meminta Prabu Siliwangi untuk menjadikan Nyai Subang Lara sebagai permaisuri saat Prabu Siliwangi menduduki takhta raja. Syarat kedua tetap memperbolehkan Nyai Subang Lara menganut agama Islam, sebagai agama kepercayaan, sebab Nyai Subang Lara adalah salah seorang penganut agama Islam yang taat, dan murid kesayangan dari Syaikh Hasanuddin.
Hingga pada akhirnya, setelah Prabu Siliwangi dinobatkan menjadi raja, kedua syarat itu akhirnya dipenuhi, dan janjinya berhasil dibuktikan. Dari pernikahan Prabu Siliwangi dengan Nyai Subang Lara, lahirlah tiga orang anak, mereka adalah Raden Walasungsang, Nyai Rara Santang, dan Raden Sangara.
Mereka bisa hidup damai meski memiliki dua agama yang berbeda, Prabu Siliwangi tetap menjadi penganut agama Hindu yang taat, begitupun dengan Nyai Subang Lara dengan agama Islamnya, namun tidak dijelaskan agama apa yang mereka turunkan kepada anak-anak mereka, yang pasti setelah kematian Nyai Subang Lara, putra tertua mereka bernama Prabu Walasungsang memutuskan untuk pergi mendalami agama Islam.
Apa yang sudah menjadi keputusan dari Prabu Walasungsang ini memang bisa membuat isi istana menjadi gaduh, bagaimana tidak Putra tertua sebagai penerus tahta kerajaan, lebih memilih untuk pergi, dan menjauhkan diri dari kehidupan mewah Istana, demi mendalami agama Islam yang menjadi agama yang dianut oleh Ibunya, Nyai Lara Subang.
Mungkin saja kesedihan yang mendalam atas kepergian Ibunya itu tidak bisa diobati dengan kemewahan Istana, sekalipun nanti dirinya diangkat menjadi seorang raja. Melihat kakak tertuanya pergi, Rara Santang sebagai adik kandung dari Prabu Walasungsang ini akhirnya memutuskan untuk ikut mencari Walasungsang.
Rara Santang dikabarkan pergi ke sekitar Gunung Tangkuban Perahu, disana dia bertemu dengan Ki Ajar Saketi di Argaliwung, yang menyuruh Rara Santang untuk pergi mencari Prabu Walasungsang ke Gunung Mara Api di Ciamis. Konon katanya di tempat itulah akhirnya dua kaka beradik ini bertemu.
Sebelum kedatangan Rara Santang, Prabu Walasungsang telah lebih dulu tinggal cukup lama di rumah pendeta Buddha bernama Ki Gedheng Danuwarsih, di rumah itu juga Prabu Walasungsang mulai jatuh hati pada putri dari Ki Gedheng Danuwarsih yang bernama Nyai Indah Geulis, hingga akhirnya mereka menikah. Setelah menikah, Prabu Walasungsang, Nyai Indah Geulis, dan Rara Santang melanjutkan perjalanan menuju Amparan Jati, Cirebon.
Sesampainya disana mereka bertiga disambut oleh Ki Gedheng Tapa, yang tidak lain adalah Kakek Walasungsang dan Rara Santang dari pihak Ibu atau Nyai Subang Lara. Amparan Jati sendiri pada saat itu sudah menjadi wilayah persebaran agama Islam yang pertama di tatar Sunda. Disanalah mereka mendalami agama Islam kepada Syaikh Datuk Kahfi, yang dianggap sebagai penyebar Islam pertama di tatar Sunda.
Dianggap telah memiliki ilmu agama Islam yang cukup, Prabu Walasungsang dan Rara Santang diberi tugas untuk membangun perkampungan di Kebon Pesisir sambil menyebarkan agama Islam. Setelah mereka berhasil membangun Kebon Pesisir menjadi salah satu pusat dakwah dan dagang di Cirebon, atas saran dari Syaikh Datuk Kahfi, mereka akhirnya pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji.
Saat melangsungkan ibadah di Makkah itulah, Rara Santang bertemu dengan Molana Huda, seorang sultan di Mesir yang menguasai jazirah Arab, mereka bertemu saat Rara santang berkunjung ke BetaâImuqdas yang tiada lain adalah Masjidil Aqsa yang terletak di kota Yerusalem. Sebelum mereka menikah, Rara Santang mengajukan syarat, jika lahir anak laki-laki, dia harus menjadi penyebar agama dan penegak kekuasaan Islam di tanah Sunda.
Dari pernikahan itu lahirlah dua orang putra, yakni Syarif Hidayatullah, dan Syarif Nurullah, sesuai kesepakatan maka setelah memiliki ilmu yang cukup, Syarif Hidayatullah pergi meninggalkan Mesir, untuk menyebarkan agama Islam di tatar Sunda, seperti yang kita ketahui Syarif Hidayatullah adalah yang kita kenal sekarang dengan nama Sunan Gunung Jati, sebagai Wali Songo yang ikut membantu penyebaran agama Islam terbesar di Jawa Barat.
Kontributor: Deli Putra
Ilustrator: Kakak Day