Masjid Agung SUMENEP Madura
Sejarah Masjid Agung Sumenep - Madura
Masjid Agung Sumenep dibangun setelah selesainya pembangunan Kraton Sumenep, pembangunan masjid ini digagas oleh Adipati Sumenep ke 31, Pangeran Natakusuma I alias Panembahan Somala (berkuasa tahun 1762-1811 M). Adipati yang memiliki nama asli Aria Asirudin Natakusuma ini, sengaja mendirikan masjid yang lebih besar, untuk menampung jemaah yang semakin bertambah. Bangunan masjid yang ada saat itu dikenal dengan nama Masjid Laju, dibangun oleh adipati Sumenep ke 21 Pangeran Anggadipa (berkuasa tahun 1626-1644 M) sudah tak lagi memadai kapasitasnya untuk menampung jemaah.
Pembangunan masjid Agung Sumenep di arsiteki oleh Lauw Piango, arsitek yang sama yang menangani pembangunan kraton Sumenep. Lauw Piango adalah cucu dari Lauw Khun Thing yang merupakan satu dari enam orang China yang mula-mula datang dan menetap di Sumenep. Ia diperkirakan pelarian dari Semarang akibat adanya perang yang disebut ‘Huru-hara Tionghwa’ (1740 M). proses pembangunan masjid dimulai tahun 1198 H (1779M) dan keseluruhan proses pembangunannya selesai pada tahun 1206H (1787M). Terhadap masjid ini Pangeran Natakusuma berwasiat yang ditulis pada tahun 1806 M, bunyinya sebagai berikut;
“Masjid ini adalah Baitullah, berwasiat Pangeran Natakusuma penguasa di negeri/keraton Sumenep. Sesungguhnya wasiatku kepada orang yang memerintah (selaku penguasa) dan menegakkan kebaikan. Jika terdapat Masjid ini sesudahku (keadaan) aib, maka perbaiki. Karena sesungguhnya Masjid ini wakaf, tidak boleh diwariskan, dan tidak boleh dijual, dan tidak boleh dirusak.”
Arsitektural Masjid Agung Sumenep - Madura
Arsitektural masjid Agung Sumenep sepertinya memang sengaja dirancang oleh Arsiteknya waktu itu dengan menggabungkan berbagai unsur budaya. Arsiteknya yang ber-etnis Tionghoa turut menorehkan unsur budaya China pada seni bina bangunan masjid ini. Seni Arab, Persia, Jawa, India dan China menjadi satu kesatuan utuh pada bangunan masjid Agung Sumenep ini.
Bangunan utama masjid di tutup dengan atap limas bersusun. Atap limas bersusun atau berundak, susunan atap seperti ini selain merupakan ciri khas bangunan di tanah jawa yang menggunakan atap joglo tapi juga merupakan bentuk atap yang banyak dipakai pada bangunan klenteng yang biasa menggunakan atap bersusun. Di ujung tertinggi atap bangunan dipasang mastaka berbentuk tiga bulatan.
Gerbang utama yang dibangun di masjid ini banyak di pakai di bangunan bangunan penting negeri China dan India, di dua negeri itu bangunan gerbang tidak semata mata sebagai pintu masuk utama tapi juga merupakan pos penjagaan. Bangunan ini cukup besar dan megah, dengan ruangan di atasnya, bisa jadi pada jamannya ruang ini merupakan tempat menyimpan beduk dan kentongan serta tempat muazin mengumandangkan azan. Sehingga wajar bila kemudian ruang di atas gerbang ini yang difungsikan layaknya menara. Gerbang masjid Agung Sumenep ini benar benar menyita perhatian karena bentuknya yang begitu besar dan megah. Jangan lupa bahwa masjid masjid awal di tanah air memang tidak dilengkapi dengan menara.
Ukiran jawa dalam pengaruh berbagai budaya menghiasai 10 jendela dan 9 pintu besarnya. Bila diperhatikan dengan seksama, ukiran ukiran yang ada di pintu utama masjid ini sangat kental pengarus budaya China, dengan penggunaan warna warna cerah. Ukiran dengan nada yang serupa akan banyak di jumpai di daerah Palembang yang seni arsitekturalnya juga dipengaruhi cukup kuat oleh budaya China. Disamping pintu depan mesjid sumenep terdapat jam duduk ukuran besar bermerk Jonghans, diatas pintu tersebut terdapat prasasti beraksara arab dan jawa.
Sentuhan budaya China terasa lebih kental pada mihrab masjid. Uniknya masjid ini memiliki dua mimbar disisi kiri dan kanan mihrabnya. Hiasan keramik porselen warna biru cerah dengan corak floral mendominasi dua mimbar dan mihrab di masjid ini. Dilihat dari coraknya kemungkinan besar keramik porselen tersebut di import dari daratan China. Bangunan bersusun dengan puncak bagian atas menjulang tinggi mengingatkan bentuk-bentuk candi yang menjadi warisan masyarakat Jawa. Kubah berbentuk tajuk juga merupakan kekayaan alami pada desain masyarakat Jawa.
Sekitar tahun 90-an masjid ini mengalami pengembangan, dengan renovasi pada pelataran depan, kanan dan kirinya, dengan sama sekali tidak mengubah bangunan aslinya. Didalam mesjid terdapat 13 pilar yang begitu besar yang mengartikan rukun solat. Bagian luar terdapat 20 pilar. Dan 2 tempat khotbah yang begitu indah dan diatas tempat Khotbah tersebut terdapat sebuah pedang yang berasal dari Irak. Awalnya pedang tersebut terdapat 2 buah namun salah satunya hilang dan tidak pernah kembali...