Bima Lebih Tua dari Dompu

Bima Lebih Tua dari Dompu

Masyarakat Bima pra-Islam, sudah mengenal system kepemimpinan yang mengepalai beberapa wilayah. Kepala-kepala suku ini disebut dengan Ncuhi. Nama-nama Ncuhi diberikan berdasarkan nama gunung atau lembah dimana mereka berkuasa. Wilayah tengah dipimpin oleh Ncuhi Dara, wilayah timur dipegang oleh Ncuhi Dorowuni, wilayah utara oleh Ncuhi Banggapupa, wilayah selatan oleh Ncuhi parewa, wilayah barat oleh Ncuhi Bolo. Mereka hidup berdampingan secara damai, jika muncul suatu persoalan terkait kepentingan bersama, mereka berkumpu untuk musyawarah. hal. 20.

Ahmad Amin berpendapat bahwa kira-kira tahun 1575 datanglah seorang dari Jawa dan oleh kelima Ncuhi sepakat mengangkat pendatang itu menjadi raja Bima dengan gelar Sangaji. Dari penjelasan tersebut, ada kemungkinan pada awalnya kerajaan Bima berbentuk federasi dan proses terbentuknya sama dengan proses terbentuknya kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Bouman berpendapat bahwa para Ncuhi tersebut adalah tuan-tuan tanah yang berkuasa di wilayahnya masing-masing, kemudian mereka dipersatukan oleh maharaja sang Bima menjadi satu kerajaan yang bercorak kehinduan.

Yang menjadi pertanyaan adalah siapa sebenarnya sang Bima tersebut, apakah ia tokoh sejarah atau hanya tokoh mitologis atau legenda. Untuk menjawab ini tentu membutuhkan data yang kuat untuk mendukungnya. BO Sangajikai sendiri menjelaskan bahwa sang Bima adalah seorang bangsawan Jawa yang berhasil mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil sehingga menjadi kerajaan Bima. Diceritakan bahwa sang Bima memiliki seorang kekasih seekor naga di pulau Satonda, ketika sang Bima memandang naga tersebut, maka ia hamil dan melahirkan seorang perempuan nan cantik yang diberi nama Sari Tasik Naga. Sang Bima lalu mengawini putrinya sendiri yang kelak melahirkan dua orang putra yang bernama Indra Jamrut dan Indra Komala yang kelak menjadi cikal bakal yang menurunkan raja-raja Bima dan Dompu. Cerita semacam ini menjadi pegangan masyarakat Bima bahwa sang Bima adalah tokoh sejarah yang datang dari Jawa kemudian kawin dengan wanita Bima yang menjadi cikal bakal raja-raja Bima.

Hal serupa disampaikan oleh Helius Sjamsuddin, sejarahwan Dompu bahwa sang Bima bukanlah tokoh dalam Mahabarata, ia mewakili tokoh sejarah yang sebenarnya yang datang dari Jawa (seorang aristokrat atau anggota elit tradisional) yang datang ke pulau Sumbawa, kemudian mempersatukan kelompok-kelompok sederhana yang dipimpin oleh Ncuhi-ncuhi atau dalu-dalu dan oleh Ncuhi-ncuhi yang diwakili oleh Ncuhi Dara, menganggkat Sang Bima sebagai Sangaji. Sang Bima menikah dengan wanita setempat dan mempunyai keturunan yang melahirkan Indra Jamrut dan Indra Komala.

Terlepas dari perdebatan apakah sang Bima tokoh legendaris atau tokoh sejarah bahwa cerita sang Bima dapat dipandang sebagai sarana legitimasi bahwa nenek moyang raja-raja Bima berasal dari Jawa yang menganut agama Hindu-Jawa. Kesimpulan demikian didukung oleh sumber tertulis dan data arkeologis. Namun yang menjadi pertanyaan adalah sejak kapan pengaruh hindu itu muncul? Apakah kerajaan Bima yang didirikan oleh sang Bima merupakan kerajaan berdaulat atau sebuah kerajaan vazal (taklukan) dari kerajaan Hindu-Jawa belum dapat dipastikan meskipun data tertulis dan bukti arkeologis memberikan indikasi adanya hubungan Bima dengan Jawa. hal. 23.

Berdasarkan naskah Jawa Kuno seperti Negarakertagama, Pararaton, Kidung Pamancangah, Roman Ranggalawe, dan Serat Kanda menyebutkan sejumlah nama tempat di pulau Sumbawa yang berada dibawah pengaruh kerajaan Majapahit. Misalnya dalam kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Empu Prapanca pada tahun 1365, pupuh 14: 3 berbunyi:

“sawetan ikanang tanah Jawa muwah ya warnnanen ri bali makamukya tan badahulu mwan i lwagajah gurun makamukha sukun ri taliwang ri dompu sape ri sanghayang api bhima ceram I hutan kadaly apupul”

Kutipan tersebut menyebut beberapa nama seperti Taliwang, Dompu, Sape, Sangyang Api, dan Bhima. Dalam pupuh 72: 3 kitab Negarakertagama disebutkan serangan Majapahit atas Dompo pada tahun 1357 dibawah pimpinan Senapati Nala. Peristiwa ini disebutkan juga dalam Pararaton.Van Narsen berasumsi bahwa peristiwa tersebut merupakan masa awal zaman Hindu di pulau Sumbawa. hal. 25.

Bukti lain adalah sebilah keris pusaka (sampari) pemberian Indra Jamrut untuk Ncuhi Dara sebagai tanda pengakuan kepada Ncuhi Dara sebagai bapaknya, yang diwariskan secara turun temurun oleh keturunan Ncuhi Dara (Jufrin irwan) di kelurahan Dara, memberikan informasi bahwa pada hulunya terdapat gambar sang Bima dalam posisi duduk. Menurut Tawalinuddin Haris, keris-keris dengan bilah (wilahan) yang dibuat menyatu dengan hulu kerisnya dikenal sebagai keris khas Majapahit. hal. 26.

Selain bukti-bukti di atas, adanya hubungan Bima dengan Jawa yang bernuansa Hindu dan Budha, diperkuat juga dengan beberapa penemuan benda-benda arkeologi di Bima. 1) di Desa Tato (patung) pernah ditemukan arca Trimurthi atau Mahesamurti dan arca Syiwamahakala pada masa sultan Abdullah. kedua arca tersebut, keberadaannya saat ini tidak diketahui. Tapi menurut Van Naerseen, kedua arca tersebut di bawa ke Koninklijk Bataviaasch Genootschap pada masa Holtz menjawab sebagai civil-gezaghebber di Bima pada tahun 1858. 2) di Sila ditemukan Lingga yang dipergunakan sebagai nisan kubur di halaman Masjid. 3) Situs Wadu Tunti di kampung Padende, desa Doro kecamatan Donggo. Batu tunti tersebut dilaporkan pada tahun 1910 dan baru dapat dibaca pada tahun 1994 oleh MM. Soekarto Kartoatmojo yang berbahasa Jawa Kuno. Didalamnya terdapat nama seorang tokoh (mungkin raja) yakni sang Aji Sapalu yang bertahta di negeri Sapalu. Menurut NY. Krom, secara paleografis, inskripsi itu diperkirakan berasal dari sekitar tahun 1350 sampai 1400 Masehi. 4) Wadu Pa’a yang terletak di tepi pantai teluk Bima. Terdapat beberapa artefak arkeologi yang berlatarbelakang agama Hindu (Lingga, Ganesa, dan Agastya) yang berdampingan dengan artefak yang bernafaskan agama Budha seperti stupa dan arca Budha. Menurut Prof. Buchari secara paleografis inskripsi itu diperkirakan dari abad ke-6 atau ke-7 Masehi.

Disamping sumber tertulis dan bukti arkeologis yang dipaparkan di atas, pengaruh Jawa Hindu di Bima mendapat dukungan dari data toponim. Nama Bima sendiri adalah kata impor dari bahasa Jawa Kuno “Bhima” nama seorang pahlawan besar dalam epos Mahabarata. Selain itu, ada sejumlah toponim atau nama di Bima yang mengindikasikan pengaruh Hindu misalnya Bumi candi, bata candi, sila dan mahameru. Bata candi adalah nama istana Batara Mitra Indra Rata, Sila nama kota kecamatan, Mahameru adalah nama gunung di Wera.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masa awal perkembangan budaya Hindu di Bima sekitar abad ke-8 atau ke-9. Kesimpulan ini menggugurkan pendapat Rouffaer yang menyatakan bahwa “Dompu lebih tua dari Bima” berdasarkan perpindahan orang-orang Jawa pertama kali ke pulau Sumbawa pada abad ke-13. Namun dengan keberadaan tinggalan arkeologis Wadu Pa’a yang diperkirakan dipahat pada abad ke-8 atau ke-9 menunjukkan bahwa “Bimalah yang lebih tua dari Dompu”.

Dalam BO juga dijelaskan bahwa hubungan Jawa-Bima telah berkembang sejak abad ke-10 pada masa raja Batara Mitra yang pergi ke Jawa kemudian kawin dan mendapatkan anak yang bernama Manggampo Jawa. Hubungan baik ini kemudian berlanjut pada masa Majapahit, masa Islam dan masa kolonial. Wallahu a’lam.