WARNA ISLAM YANG DIBAWA PARA WALI

WARNA ISLAM YANG DIBAWA PARA WALI


Menurut James Peacock dalam Purifying the Faith (1979), Islam yang datang ke Jawa adalah Islam sufi yang dengan mudah diterima serta diserap ke dalam sinkretisme Jawa. Keberadaan Suluk Wujil, Primbon Bonang, Suluk Linglung, Suluk Sukersa, Suluk Sujinah, Suluk Syaikh Malaya, Suluk Pustaka Rancang, Serat Dewa Ruci, dan Serat Cabolek menunjukkan bukti  bahwa perkembangan Islam di Jawa - khususnya di era Wali Sanga - lebih  di dominasi oleh paham kesufian.

Serat Dewa Ruci yang dikaitkan denga tokoh Sunan Kalijaga, misal, pada dasarnya merupakan pengembangan naskah Nawa Suci, karya spiritual Hindu-Buddha yang ditulis pada masa Majapahit yang kemudian dimasuki paham-paham kesufian sedemikian rupa sehingga naskah Serat Dewa Ruci seolah-olah karya baru pada zaman Islam. Fleksibilitas ajaran sufisme inilah yang terlihat  jejaknya pada proses dakwah Islam di Nusantara lewat jalur asimilatif dalam kehidupan sosial, budaya, religi, seni, sastra, pendidikan, dan adat kebiasaan.

Sebagaimana ajaran Kapitayan yang mengenai konsep "Tu-ah" dan "Tu-lah"  yang dalam ajaran Hindu-Buddha dikenal pula  konsep "daya sakti", dalam doktrin sufi, adanya kekuatan adikodrati yang disebut "karomah". Mereka  yang memiliki karomah disebut "Wali". Karomah itu diyakini dapat mendatangkan berkah, baik pada saat sang wali masih hidup maupun sesudah wafat. Sementara itu ulama dengan moqom rohani dibawah wali memiliki kekuatan adikodrati yang disebut "maunah".

Menurut Khan Sahib Khaya (1987), di kalangan sufi terdapat dua paham pemikiran besar yang dianut oleh tarekat-tarekat sufi.

Paham pertamma, adalah paham wujudiyah yang mengajarkan doktrin bahwa manusia (alam) berasal dari pengetahuan Ilahi dan akan dapat pengalaman dari dunia untuk kemudian menuju "Ain-Nya". Segala seseatu ada di dalam kandungan Tuhan. Paham ini dikenal dengan sebutan Wahdatul Wujud yang oleh kebanyakan pengamat Barat secara keliru disamakan dengan pantheisme. Tokoh paham wujudiyah yang terkenal di kalangan filsuf maupun tasawuf adalah Husin bin Mansyur al- Hallaj, Abu Yazid Bustami, Syihabuddin Suhrawardi, dan Muhyidin ibnu Arabi.

Al-Hallaj mengjarkan pahamnya meliputi :

1. Hulul, yakni Ketuhanan (Lahut) menjilma kedalam diri insan (nasut).

2. Al-haqiqotul muhammadiyah, atau Nur Muhammadiyah sebagai asal-usul kejadian amal perbuatan dan ilmu pengetahuan, dan dengan perantaraan-Nya seluruh alam dijadikan.

3. Wahdatul adyan, kesatuan segala agama.

Di Nusantara tokoh paham wuhudiyah adalah Syaikh Datuk Jalil (Syaikh Siti Jenar) dan muridnya Ki Ageng Pengging dalam historiografi Jawa dikisahkan dijatuhi hukuman bunuh oleh Wali Sanga. Namun tidak serta merta paham wujudiyah hilang karena belakangan muncul tokoh-tokoh paham wujudiyah lain seperti Pangeran Panggung, Ki Cakrajaya, Hamzah Fansuri, Syamsudin as-Sumatrani, Abdul Rauf Singkel, Kyai Mutammakin, dll.

Paham sufisme kedua adalah Syuhudiyah, yang mempercayai doktrin adanya dua zat. Yang pertama adalah Yang Nyata (reality) dan yang kedua adalah yang tidak nyata (non-reality). Yang pertama adalah Tuhan, yang kedua adalah hamba. Pada Tuhan terkandung sifat Ada (Wujud) dan pada hamba terkandung sifat tak ada ('adam), dan 'adam seperti itu adalah hubungan (idhofi) tetapi bukan yang hakiki. Dzat Tuhan dan dzat hamba adalah dua dan bukan satu. Dan ketdaksempurnaan hanyalah melekat pada yang 'adam, oleh sebab itu, hubungan keburukan merupakan perwujudan dari 'adam. Bagaimanapun hubungan antara Tuhan dengan hamba berlangsung, tidaklah mungkin terjadi persatuan.

Paham syuhudiyah dikembangkan oleh Abu Hamid al-Ghozali yang nengharmonisasi paham Muktazilah, Asy'ariyah, dan Ahlussunah wal jamaah. Al-Ghozali berpendapat bahwa tidak ada Wujud melainkan Allah dan perbuatan-Nya. Ini bermakna Allah dan perbuatan-Nya adalah dua, bukan satu.

Organisasi Islam Nahdhatul Ulama secara formal mewadahi puluhan aliran tarekat yang dianggap mu'tabar maupun ghoiru mu'tabar dalam wadah Jami'ah Ahli

Thoriqot al-Mu'tabarah an-Nahdhiyah.