MENGHADAPI PASUKAN MARINIR BELANDA SEORANG DIRI
*MENGHADAPI PASUKAN MARINIR BELANDA SEORANG DIRI*
Mungkin pembaca sudah banyak tahu tentang seorang guru tarekat Naqsyabandiyah Al-Mudzhariyah yang bernama Al-Allamah Al-Arif Billah Almaghfurlah Syaikh KH Ali wafa Muharrar (wafat pada Tahun 1976). Seorang wali besar di Kecamatan Ambunten Kabupaten Sumenep Jawa Timur, yang pada Tahun 1947, telah membuat heboh di lingkungan kecamatan itu.
Dulu pada zaman kolonial Belanda daerah Kecamatan Ambunten masih bernama Kawedanan Ambunten. Daerah ini, pada sekitar bulan Juli tahun 1947, juga menjadi sasaran pendaratan tank-tank amphibi pasukan marinir Belanda yang ingin merebut kembali Kemerdekaan Republik Indonesia.
Bukan hanya di daerah Ambunten, pada Bulan Juli Tahun 1947, Belanda juga menurunkan pasukannya di daerah Situbondo.
Sebelum menurunkan pasukan marinirnya, biasanya Belanda sebelumnya melakukan penyerangan dari udara melalui pesawat-pesawat tempurnya untuk menyerang pos-pos pertahanan para pejuang kita.
Pada Bulan Juli 1947 (entah tanggal dan harinya informan saya tidak tahu), Sekitar waktu dhuha, penduduk kecamatan Ambunten yang berada di pesisir utara Madura dikejutkan dengan suara bising pesawat-pesawat tempur Belanda. Pesawat-pesawat tempur itu menjatuhkan bom di pondok pesantren Al Allamah Al Arif Billah Syaikh KH Ali Wafa Muharror.
Sungguh ajaib, tiga butir bom sebesar tubuh manusia yang dijatuhkan dari udara itu tidak meledak satupun dan jatuh persis di halaman pesantren. Masyarakat di sekitar pesantren datang dengan rame-rame ingin melihat bom itu. Mereka heran dan berdecak kagum atas karamah beliau.
"Tolong bom-bom itu pikul dan serahkan ke kawedanan," ucap kiyai Ali wafa kepada masyarakat yang datang melihat bom itu.
Dengan sigap penduduk memikul bom-bom itu. Sebutir bom sebesar tubuh manusia itu dipikul oleh 8 orang dan menjadi tontonan masyarakat Ambunten ketika dipikul rame-rame ke kantor kawedanan.
Keesokan harinya, masyarakat di sekitar pesisir itu kembali dikejutkan dengan datangnya kapal induk milik marinir yang mendekat ke pesisir Ambunten. Tampak dari pinggir pantai, kapal induk marinir tersebut menurunkan puluhan tank-tank amphibi yang akan di daratkan ke daerah pesisir Ambunten. Dengan heroik semua masyarakat Ambunten keluar dari rumah membawa pedang, clurit, bambu runcing, dan keris ingin menghadang tank-tank amphibi yang ingin mendarat di pesisir itu. Mereka rame-rame datang kepada Kiyai Ali Wafa untuk minta ijin melawan pasukan-pasukan marinir belanda tersebut.
"Tenang-tenang!" Kata kiyai Ali Wafa kepada masyarakat yang rame-rame datang kepada beliau.
"Kalian semua di pesantren saja. Jangan kemana-mana. Tentara Belanda itu punya tank dan bedil. Sampean-sampean ini hanya bawa celurit, pedang dan bambu. Kalian pasti akan dibantai dengan peluru dan bom. Biar saya saja sendiri yang akan menghadapi tentara Belanda itu!" Kata kiyai Ali Wafa kepada semua orang yang sudah siap-siap ingin mengadakan perlawanan.
"Sudah di sini saja, kalian wiridan." Kata kiyai.
Beberapa menit kemudian Kiyai masuk kamar dan keluar lagi dengan berpakaian compang-camping serta membawa wadah ikan dan tongkat seperti nelayan yang akan mencari tiram.
"Saya mau pergi ke pantai. Tank-tank belanda itu masih di tengah laut. Biar saya sendiri yang menghadang mereka." ucap kiyai Ali wafa dan bergegas keluar Pesantren menuju ke pinggir pantai.
Kiyai Ali wafa mondar-mandir sendirian di pinggir pantai. Sungguh ajaib sekali, tiba-tiba dengan kekuasaan Allah puluhan tank-tank amphibi marinir pasukan Belanda yang turun dari kapal induk untuk menuju daratan Ambunten mundur kembali ke kapal induknya.
Kapal perang induk Belanda yang kira-kira 1 mil jaraknya dari pantai kemudian pergi meninggalkan perairan laut Ambunten. Sebagian masyarakat yang mengintip untuk menyaksikan karamah Kiyai Ali wafa bersorak-sorak gembira berkeliling kepada penduduk untuk mengabarkan bahwa pasukan Belanda gagal ingin mendarat di Ambunten.
Inilah seorang waliyullah yang telah menggetarkan hati seluruh penduduk daerah Ambunten. Karamahnya disaksikan orang banyak. Dan riwayat karamah ini saya peroleh dari Almarhumah Ibu Siti Rabi'atun yang menjadi salah satu saksi atas peristiwa itu.