Tamiang Negeri Bebilang Buluh
Tamiang Negeri Bebilang Buluh
Perjalanan menuju Aceh Tamiang, berbatasan langsung dengan Langkat yakni kecamatan Besitang, Tamiang juga memiliki sejarah dan kesamaan Rumpun budayanya yang masih tetap lestari.
Secara geografis dan sistem roda pemerintahan, memang Kabupaten Aceh Tamiang adalah Bahagian dari Naggroe Aceh Darussalam yang berbatasan langsung dengan Langkat sehingga corak budaya Tamiang bernuasa Melayu dan terkadang disebut Langkat Tamiang. tetapi jika dipandang atau dikaji dari sudut pandang kaca mata budaya, ternyata sangat berbeda dengan seni budaya Aceh. Sedangkan persamaan antara keduanya sama-sama seni budaya yang sangat kental dengan nilai-nilai religius atau bernafaskan Islam.
Berdasarkan buku “Aceh Tamiang Dalam Angka 2013” dipaparkan bahwa kata “Tamiang” berasal dari legenda “Te-Miyang” atau “Da-miyang” berarti tidak kena gatal atau kebal gatal dari miang buloh , buloh bagi orang Melayu disebut bambu.
Legenda tersebut berhubungan dengan cerita sejarah tentang Raja Tamiang yang bernama Pucook Sulooh. Ketika masih bayi ia ditemukan dalam rumpun buloh betong oleh seorang raja berjulukan “Tamiang Pehok”. Setelah Dewasa Pucook Sulooh dinobatkan menjadi Raja Tamiang bergelar Pucook Sulooh Raja Te-Miyang”, yang artinya “seorang seorang raja yang ditemukan di rumpun rebong (pucuk bambu/buloh yang baru tumbuh) tetapi tidak kena gatal atau kebal gatal”Sebagai mana kita ketahui bersama bahwa rebong buloh yang merupakan pucuk bambu yang baru tumbuh memiliki bulu-bulu halus yang sangat kecil bila tertusuk pada kulit akan menimbulkan rasa gatal yang amat sangat.
Dalam prasasti Sriwijaya menyebutkan Tamiang dengan “Da-Miyang”. Dalam Sastra Cina karya Wee Pei Shih menyebutkan keberadaan negeri Tamiang dengan sebutan Kan Pei Chian. Dalam Kitab Negara Kertagama (karya Empu Tantular dari Majapahit) menyebutkan Tamiang dengan “Tumihang”.Daerah ini juga berjuluk “Bumi Muda Sedia” sesuai dengan nama Rajanya yang bernama Muda Sedia (Raja Kerajaan Karang) yang memerintah selama 6 tahun (1330-1336).
Beribukota Di kota Kuala Simpang Kabupaten Aceh Tamiang dalam event tahunannya melaksanakan Gebyar Melayu Serumpun .Dalam kegiatan yang bernuansa melayu rombongan disambut dengan hardah, dan bersama tokoh melayu serumpun membunyikan tabuhan yang sebagai simbol diselenggarkannya acara melayu serumpun.
Dalam kegiatan Melayu serumpun yang dilangsungkan tokoh Adat Tamiang bebusana bernuansa Melayu berteluk belanga dan berkain sampin didominasi warna kuning, dalam kegiatan ini juga menampilkan silat plintau, silat songsong, dan silat rebas tebang yang diiringi alunan irama musik bernuansa Melayu mengandalkan suara tabuhan gendang, gesekan biola dan suara alat musik
Dukungan Pemerintah Daerah menetapkan penggunaan pakaian adat melayu sebagai seragam dinas bagi ASN pada setiap hari Jumat dimana pada penggunaan pakaian adat melayu sebagai pakaian dinas bagi aparatur setiap hari Jum’at. Bagi laki-laki diharuskan mengenakan pakaian Teluk belanga, Kain samping (songket), Tanjak/Tengkulok dan pada Wanita memakai Baju kurung dan bawahan kain Songket/Rok.Dengan penggunaan Busana adat menjadi akar budaya daerah yang berperan sebagai media pemersatu bangsa, menunjukan karakteristik di Bumi Muda Sedia .
Budaya Tamiang adalah kombinasi, kolaboras, alkuturasi dan penetrasi ”benang merah” dalam garis-garis kesimpulan untuk sementara yaitu antara budaya Melayu dengan budaya Aceh, sehingga melahirkan budaya Melayu Tamiang.