Bukti pengaruh kekuasaan Majapahit atas Bima dan Dompu
Bukti pengaruh kekuasaan Majapahit atas Bima dan Dompu di Nusa Tenggara Barat:
Disclaimer:
Ini jawaban kami atas respon beberapa teman di TS kami sebelumnya terkait penemuan situs Doro Bata di Kab. Dompu, NTB dan keterkaitannya dengan pengaruh Majapahit menurut para ahli. Jawaban ini juga bukan pendapat pribadi kami, tetapi berdasarkan sumber hasil penelitian para ahli.
Sumber (Sukawati: 2014)
Kakawin N?garak?tâgama karangan Prapañca menyebutkan bahwa kekuasaan Majapahit sangat luas yang termuat dalam Pupuh XIII: 1 sampai Pupuh XVI: 5 (Robson 1995, 33-35). Daerah kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Indonesia, yaitu Pulau Sumatera di bagian barat dan Maluku di bagian timur, bahkan meluas sampai ke negara tetangga di Asia Tenggara yang dijalin dalam bentuk persahabatan yang setara atau mitra satata.
Tomé Pires menyatakan bahwa kekuasaan Majapahit sampai awal abad ke-15 Masehi adalah hampir seluruh Nusantara (Pires dalam Djafar 2009, 46-48). Tomé Pires menjelaskan juga bahwa mata uang Jawa berlaku di Bima, selain itu banyak budak dari Bima yang dibawa ke Jawa (Pires dalam Loir 2012, xvi).
mitos yang mengisahkan tokoh Sang Bima dan Tasi Sari Naga yaitu personifikasi dua orang tokoh. Tokoh laki-laki penguasa dari Jawa disejajarkan dengan Bima, salah seorang tokoh pewayangan Jawa yang beragama Hindu. Tasi Sari Naga adalah putri dari seorang penguasa setempat atau ncuhi yang mempunyai kepercayaan totemisme yang menjadi kepercayaan asli Bima.
Mitos tersebut menceritakan bahwa setelah Sang Bima bertemu dengan Sang Naga bersisik emas di Pulau Satonda, Kerajaan Bima mempunyai hubungan dengan Jawa.
Sang Bima diduga sebagai bangsawan Jawa, mungkin Majapahit (Tajib 1995, 31-44). Berdasarkan berita adanya serangan Majapahit ke Dompo dan temuan arca-arca serta prasasti bercirikan kronologi lebih tua dari zaman Majapahit, mengindikasikan bahwa di Dompo telah berkembang kerajaan yang bercorak Hindu-Budha.
Kerajaan itu diduga telah lama berkembang dan pengaruhnya dirasakan mengganggu armada dagang Majapahit di wilayah Nusantara Timur, sehingga segera ditaklukkan oleh tentara Majapahit.
Pada saat itu, pusat pemerintahan di Bima belum ada karena Kitab Pararaton dan N?garak?tâgama menyatakan bahwa serangan diarahkan ke Dompo, bukan Bima. Setelah Dompo jatuh tentara Majapahit yang dibantu oleh penduduk setempat yang masih diketuai oleh ketua adat mendirikan pemukiman baru yang kelak dinamakan Bima (Munandar 2010, 101).
Para bangsawan Singh?sari dan Kadiri memiliki kuda Bima untuk dijadikan kuda perang. Meskipun hubungan Jawa dan Bima sudah berlangsung sejak abad ke-11 Masehi, Agama Hindu tidak menanamkan pengaruh yang kuat dalam tatanan politik dan sosial budaya Bima (Ismail 2004, 32-33).
Ditemukannya sejumlah peninggalan bercorak Hindu-Budha di Bima seperti; Situs Wadu Pa’a dan Wadu Tunti di Desa Tembe dengan artefak berupa sebuah yoni dan patung nandi yang sekarang disimpan di halaman Museum Asi Mbojo, Bima.
Pada situs Wadu Pa’a ditemukan dinding karang yang dipahat relief arca Agastya, relief arca Gane?a, relief lingga dan yoni, relief st?pa dan chattra bersusun dengan berbagai variasi, relief ga?a, relief Dhy?niBudha dan Prasasti Wadu Pa’a. Situs Wadu Pa’a sektor II berupa pahatan 16 stupa yang mengapit sebuah relung berukuran tinggi 66 cm dan lebar 66 cm. Di dalam relung terdapat lapik berbentuk segi empat, lapik tersebut berukuran tinggi 19 cm dan lebar 42 cm. Deretan stupa di sebelah kiri relung berjumlah 7, sedangkan yang di sebelah kanan relung berjumlah 9. (Sukawati : 2014)
Sejarawan Ismail berpendapat, Pengaruh Hindu-Budha di Bima mulai berkembang sekitar abad ke-11 Masehi, yaitu pada masa pemerintahan Airlangga. Pada saat itu, perairan di Nusantara bagian timur sudah menjadi jalur perniagaan yang ramai (Ismail 2004, 31-32).
Masih menurut Ismail pada saat itu, terdapat suatu perjanjian tidak tertulis bahwa Kerajaan ?riwijaya menguasai jalur perniagaan bagian barat, sedangkan Airlangga menguasai jalur perniagaan bagian timur. Pada masa itu, pedagang Jawa yang pergi ke Maluku dan Timor bertujuan untuk mencari rempah-rempah dan kayu cendana. Mereka kemudian singgah di Bima untuk membeli hasil hutan seperti kayu soga atau songa untuk bahan pewarna, sapang, dan rotan serta menambah persediaan makan dan minum.
Loir dalam Munandar 2010, menyatakan bahwa penamaan Bima terhadap wilayah di timur Dompo, Sumbawa Timur dihubungkan dengan kultus tokoh Bima yang berkembang di Jawa Timur pada akhir masa Majapahit (Munandar 2010, 100). Penamaan Bima tampaknya diberikan oleh orang asing yang kemungkinan orang Jawa.
Pada akhir Majapahit, banyak ditemukan arca Bima dalam ukuran yang berbeda, tetapi mempunyai penggambaran sama. Ciri-ciri arca Bima adalah mempunyai mahkota supit urang atau rambutnya yang dibentuk dua lengkungan di puncak kepala seperti jepitan udang, berkumis melintang, berbadan tegap, memakai kain loreng hitam-putih, dan lingganya digambarkan menonjol besar, bahkan menyingkap kain yang dikenakannya (Munandar 2010, 116). Menurut Munandar, arca-arca Bima yang banyak ditemukan pada jaman Majapahit identik dengan Gajah Mada yang dalam Mahabharata, Bima merupakan salah satu tokoh Pandawa. Bima dipilih karena merupakan tokoh berkarakter baik dan bertubuh besar.
Dalam bidang keagamaan, Kitab Brahmanda Purana menyebutkan Bima sebagai salah satu aspek dari ?iwa. Mahadewa yang menguasai arah baratdaya. Jika Raja Majapahit disetarakan dengan ?iwa, maka patihnya yang bernama Gajah Mada cukup berperan sebagai aspek ?iwa. Sebelum diarcakan dalam bentuk Bima, Gajah Mada disetarakan dengan tokoh Bajranata atau Pañji (Munandar 2010, 120-121).
Demikian biar kita tidak terlalu meremehkan kebesaran leluhur di masa lalu. Kami saja di timur jauh percaya dan merasakan besarnya pengaruh Jawa (Majapahit) dalam tutur kata, adat, dan kisah kisah dongeng yang terus dituturkan oleh para tetua, masak kalian yang mungkin saja adalah keturunan langsung malah mengingkari kekuatan darah yang mengalir di dalam diri kalian. Skeptis terhadap catatan sejarah itu boleh saja, tetapi jangan sampai kita mendiskredit para pelaku sejarah dengan bahasa bahasa cibiran tanpa memiliki data yang valid.
Silahkan inbox jika ingin saya kirimkan link pdf hasil penelitian Sukawati Susetyo tahun 2014.