WABAH TIFUS (TIPES) DI CIREBON ERA KOLONIAL BELANDA

WABAH TIFUS (TIPES) DI CIREBON ERA KOLONIAL BELANDA


Imas Emalia dalam jurnalnya menulis tentang laporan Residen Hiljee yang melaporkan bahwa penyakit tifus "paling banyak melanda Kota Cirebon dan para dokter terus berkeliling melakukan perawatan."


Dalam jurnalnya, ia melukiskan kekhawatiran pemerintah kolonial terhadap dampak yang ditimbulkan karena persebaran tifus yang semakin masif. "Beberapa orang meninggal karena wabah itu," lapor Hiljee dalam tulisan Imas.


Sebuah laporan muncul dari surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad edisi 1 Februari 1921, menyebutkan bahwa wabah tifus di Kota Cirebon bermula di tahun 1911.


"Dalam laporan Binnendlandsch Bestuur No. 1893 pun disebutkan bahwa peran para dokter belum berhasil dalam menangani wabah tifus, karena persebaran wabah tifus terus terjadi hingga ke daerah pedalaman seperti yang terjadi di Cirebon Selatan dan Barat,"


Sejumlah 3.205 orang terpapar wabah di sepanjang tahun 1932 hingga 1933. Menurut laporan ini, 1932-1933 merupakan periode paling parah sepanjang wabah tifus terjadi di Kota Cirebon.


Sang residen menggambarkan bahwa Kota Cirebon sudah masuk dalam status yang parah, sehingga Hiljee mulai mendeteksi dari mana akar dari wabah itu berasal. 


Sejumlah laporan masyarakat tertuju pada sebuah pabrik es yang mendistribusi sejumlah es batu kepada tempat penjual minuman dingin. Pabrik es itu berlokasi di Mandirancan, Karesidenan Cirebon (sekarang menjadi Kabupaten Kuningan).


Menurut laporan, beberapa warga yang mengonsumsi minuman dingin dari es batu yang didistribusi pabrik es itu, akan langsung terserang gejala tifus.


Dari laporan tersebut, Residen Hiljee mulai melakukan investigasi ke lokasi pabrik beserta dengan pihak berwenang. Tidak hanya pabrik yang berlokasi di Mandirancan, sejumlah pabrik di Linggarjati dan Kota Cirebon juga turut diselidiki.


Maatschappij Ek Seng Hien dan N.V. tot Exploitatie van de Petodjo Ys Fabriek diinvestigasi secara mendalam. Beberapa pabrik es kecil juga ditelisik mulai dari pabrik di Talaga, Kadugede, Cilimus, Indramayu, dan beberapa yang berada di Kota Cirebon.


Meski sempat mendapat penyelidikan ketat, sejumlah pabrik es terbukti tidak bersalah dan pabriknya dibiarkan beroperasi. Dari hasil penyelidikan menunjukkan es batu dan minuman dingin hanya sebagai faktor pendukung tersebarnya virus, bukan menjadi hal utama penyebaran virus.


Permasalahan utama adalah faktor higienitas, di mana masyarakat di Karesidenan Cirebon hidup dalam lingkungan yang kotor dan kumuh. Ketika imunitas melemah karena pola hidup jorok, minuman dingin menjadi pendorong terserang dan tersebarnya tifus.