Semiotika Burung Garuda Berkepala Dua sebagai Wajah Hukum Masyarakat Bima
Semiotika Burung Garuda Berkepala Dua sebagai Wajah Hukum Masyarakat Bima
Masyarakat Bima dikenal sebagai masyarakat yang taat pada agama dan adatnya. Itulah kesan dan penilaian orang yang paham dan mengenal Bima. Bima dikenal juga sebagai gudangnya para guru dan ulama, juga gudangnya para pencinta al-Qur’an (qori dan hafizh).
Memang tidak ada yang salah dengan stigma dan label tersebut, karena secara historis, Bima merupakan nama sebuah wilayah di bagian timur pulau Sumbawa yang pada masa lalu menerapkan sistem pemerintahan berdasarkan ajaran Islam, yaitu kesultanan.
Kesultanan Bima memiliki lambang resmi kenegaraan yakni burung garuda berkepala dua. Lambang ini bukan hanya sekedar simbol tanpa makna. Pemilihan lambang ini telah melalui proses ijtihad kolektif antara umara dalam hal ini adalah sultan dan para ulama yang berdasarkan pada kenyataan dan fakta hidup dalam masyarakat.
Dari berbagai literatur dan informasi, garuda berkepala dua melambangkan adanya dua komponen atau sumber hukum yang diimplementasikan di Kesultanan Bima, yaitu hukum Islam dan hukum adat.
Artinnya bahwa dalam kehidupan sosial kemasyarakatan orang Bima berdasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama Islam (syariat dan fikih) dan nilai-nilai yang hidup (living law) di masyarakat yang bersumber dari kearifan lokal (local wisdom) dan adat istiadat yang secara turun-temurun ada sejak dulu.
Dalam tataran implementasi, dua sumber hukum tersebut nyata adanya dan berjalan secara bersamaan tanpa adanya saling tumpang tindih.
Hukum Islam berjalan dengan efektif sesuai dengan tuntunan nash al-Qur’an dan al-Sunnah sebagai sumber hukumnya, sementara hukum adat dijalankan oleh lembaga yang dibentuk masyarakat adat dengan spirit ajaran Islam.
???? Pesona Bimaku