Selat Muria

Selat Muria adalah sebuah selat yang dahulu pernah ada dan menghubungkan antara Pulau Jawa dan Pulau Muria. Selat ini pernah menjadi kawasan perdagangan yang ramai, dengan kota-kota dagang seperti Demak, Jepara, Pati, dan Juwana. Pada sekitar 1657, endapan-endapan sungai yang bermuara di selat ini terbawa ke laut sehingga selat ini semakin lama semakin dangkal dan menghilang, sehingga Pulau Muria bergabung dengan Pulau Jawa.


Geografi

Selat Muria saat ini termasuk dalam dataran non-struktur utama, yang artinya diperkirakan dalam sebuah periode pada masa lalu kawasan tersebut merupakan lautan


Pulau Muria

Pada saat Selat Muria masih ada terdepat sebuah pulau yang disebut Pulau Muria. Bentang alam Pulau Muria sendiri terdiri dari Gunung Muria yang terletak di tengah-tengah. Sedangkan di bagian selatan terdapat perbukitan Patiayam yang terbentuk dari aktivitas vulkanik Gunung Muria pada masa lalu (beberapa contohnya adalah Maar Bambang, Maar Gunungrowo, dan Maar Gembong).[3]


Catatan paleontologi menyebutkan bahwa wilayah perbukitan Patiayam memiliki beragam fosil kerbau purba (Bos bubalis paleokarbau), banteng (Bos bibos paleosondaicus), famili rusa/Cervidae (Cervus zwaani), famili babi hutan, gajah, gajah stegodon, famili kuda nil, famili harimau, famili penyu, dan fosil moluska.


Di pulau ini pula terletak kota-kota (tepatnya kecamatan) atau ibu kota kabupaten di kawasan Pantai Utara Jawa saat ini seperti Jepara, Kudus, dan Pati.


Pelabuhan

Pada masanya di tepi Selat Muria terdapat pelabuhan-pelabuhan perdagangan dengan berbagai komoditas seperti kain tradisional dari Jepara, garam dan terasi dari Juwana, serta beras dari wilayah pedalaman Pulau Jawa dan Pulau Muria. Selain itu karena adanya selat juga menjadikan kawasan Selat Muria menjadi lokasi dari galangan-galangan kapal yang memproduksi kapal jung jawa berbahan kayu jati yang banyak ditemukan di Pegunungan Kendeng yang terletak di selatan selat. Adanya industri galangan kapal membuat posisi kawasan ini lebih kaya dibanding pusat Kerajaan Majapahit, sehingga kawasan ini dijuluki oleh Tomé Pires (seorang penulis Portugis) sebagai "penguasa jung".


Awalnya, kawasan ini terdiri dari pelabuhan-pelabuhan kecil di sekitar selat dengan Demak sebagai pelabuhan utama, namun karena adanya konflik politik maka komoditas yang berasal dari daerah sekitar Selat Muria (Pulau Muria dan Pegunungan Kendeng) beralih menuju ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Selain itu pada laporan pada tahun 1657, menyebutkan bahwa endapan fluvial dari sungai-sungai yang bermuara ke Selat Muria seperti Kali Serang, Sungai Tuntang, dan Sungai Lusi mengakibatkan pendangkalan sehingga selat tidak dapat dilintasi kapal-kapal besar. Pusat perdagangan sempat dipindahkan ke Jepara. Karena pendangkalan ini, Tumenggung Natairnawa dari Pati sempat memerintahkan untuk menggali endapan di selat tersebut namun endapan makin cepat menghilangkan Selat Muria. Pada masa-masa akhir keberadaan Selat Muria terdapat saluran air yang dapat dilewati perahu-perahu kecil yang kini disebut Kalilondo.


Keadaan kini

Sisa dari Selat Muria dapat dilihat dengan sebuah sungai yang disebut Kalilondo yang membentang dari Juwana di sebelah timur hingga ke Ketanjung di sebelah barat.[8] Beberapa sungai juga terbentuk dari bekas Selat Muria seperti Sungai Silugunggo yang melintasi wilayah Kabupaten Pati. Di kawasan ini pula sering terjadi penemuan reruntuhan perahu, kapal, dan meriam yang menjadi bukti adanya selat di kawasan ini.


Selain itu kawasan yang dulunya adalah Selat Muria ini sering dilanda banjir saat musim penghujan.


#selatmuria #banjirdemak #banjirgubug  Sorotan pengikut