Filosofi Kayu Jati

filososi jati.


Kayu jati memiliki sejarah yang cukup panjang bagi masyarakat Jawa. Hal ini bisa dilihat dari berbagai macam peninggalan sejarah dalam wujud bangunan seperti rumah tradisional Jawa, masjid, pendopo-pendopo keraton, mebel dan lain lain. 


selain itu, kayu jati juga mempengarui peradaban masyarakat jawa, selain harganya mahal, motifnya pun juga bagus dan juga sangat awet. 

Padahal, Jawa di samping bukan ashabul nuzulnya, juga bukanlah penghasil terbesar dari tumbuhan ini. Kebutuhan jati dunia 70%  dipasok dari Birma, habitat asli tanaman ini endemik berasal. Bahkan di bumi Nusantara-pun, jati lebih dulu lebih dikenal di daerah Buton, Sulawesi. 


Namun"  tanaman jati ini disebut Java Teak adalah bahwa menemukan tempat tumbuh terbaiknya di bumi Jawa.


Tapi, jati sekaligus adalah "mimpi buruk" bagi orang Jawa. Sejarah sering salah sebut bahwa VOC didirikan sekedar mengeksploitasi Nusantara karena emas hijau bernama rempah2. Itu benar bila konteksnya adalah Maluku, yang memang menjadi daya tarik utama muhibah pelayaran global pertma kali di dunia. Namun dalam konteks Jawa, emas hijaunya adalah pohon jati. 


Dalam catatan Denys Lombard, sedemikian tertariknya VOC pada “emas hijau” ini hingga bersikeras mendirikan loji pertama mereka di Jepara pada 1651. VOC kemudian memperjuangkan lisensi perniagaan jati melalui Semarang, Jepara, dan Surabaya. Prospek perdagangan jati dinilai Kompeni lebih cerah dibandingkan perdagangan rempah-rempah dunia yang sebenarnya sedang mencapai puncaknya waktu itu.  Pada abad ke-19, VOC diberi izin untuk memanen lahan hutan jati yang cukup luas di Jawa.


Namun, VOC justru kemudian berbalik membebani para pemuka pribumi dengan penebangan pada rakyat sekitar hutan jati melalui sistem blandong.


Kayu Jati di Tanah Jawa, nyaris menjadi setiap catatan sejarah yang berkembang panjang saling berdampingan dengan masyarakat yang hidup di tanah ini. Ketika indutri perkebunan lain mulai tumbuh.