Agama dan Negara

AGAMA DAN NEGARA


Agama berada dalam domain iman. Negara berada dalam area amal.

Iman bersifat vertikal, abstrak dan ketuhanan. Amal bersifat horisontal, konkrit dan kemakhlukan (kemanusiaan).

Agama yang berada dalam wilayah iman dan negara yang berada dalam wilayah amal tidak bisa disatukan juga tidak bisa Keduanya saling bertautan.Bila agama disatukan dengan negara, maka iman tak berbeda dengan amal, padahal iman adalah teori dan amal penerapan. Ini jelas membingungkan.

Bila agama dan negara dipisahkan, maka iman yang merupakan teori tidak punya terapan, dan amal yang merupakan mishdaq tidak punya mafhum. Ini paradox.

Iman dan amal adalah 2 entitas afirmatif yang salah satunya memerlukan lainnya seperti atas dan bawah, Tiada atas bila bawah tiada, dan tiada bawah bila atas tiada.

Wahyu menjadi sumber iman (agama).Rasio menjadi sumber amal. Bila negara diposisikan sebagai agama, maka penciptaan rasio percuma belaka.

Predikasi negara dengan agama, seperti Republik Islam Iran, menurut saya, adalah pengelolaan negara dengan konstitusi yang disarikan dari agama, bukan pengagamaan Negara.

RI pun demikian. Asas dan konstitusinya disarikan dari prinsip iman, seperti monoteisme dan nilai-nilai universal yang diterima semua agama.

Bila negara diatur dengan satu agama, itu meniscayakan peniadaan agama-agama lain yang dianut oleh pendiri-pendiri dan penduduknya. Karena itu, asasnya harus universal.

Penempatan keesaan Tuhan pada sila 1 Pancasila sebagai asas negara merupakan konfirmasi atas universalitas iman dalam pengelolan masyarakat multiagama.

Perlu diperhatikan, wahyu mutlak saat dipersepsi pasti tampil sebagai interpretasi, bukan lagi wahyu. Pemutlakan persepsi inilah biang ekstremisme.

Perbedaan konsep “keselamatan” yang ditawarkan masing-masing agama tidak menjadi kendala untuk mencari prinsip universalnya, seperti monoteisme dan etika.

Sebagian orang merasa cocok dengan sebuah baju bukan karena memilihnya setelah membandingkannya dengan baju-baju lain tapi karena keburu memakainya. Agama pun begitu.

Artinya, agama yang dianut banyak orang mungkin produk keterlanjuran dan ketakberdayaan determinan. Karena itu tak perlu ngotot mempertentangkannya.

Dan karena itu pula tak perlu memaksakan apa yang terlanjur diyakininya kepada orang lain yang juga terlanjur meyakini agama lain.

Bila sama-sama produk keterlanjuran, parameternya haruslah prinsip melampaui keyakinan-keyakinan berbeda-beda Iman universal, monoteisme, sudah pas sebagai sila 1. Yang lebih irrasional adalah memaksakan 1 aliran dalam 1 agama kepada penganut aliran lain (sudah tentu kepada pnganut agama lain) dengan mensektariankan Negara.

Konsep-konsep “keselamatan” yang ditawarkan setiap agama bukan kendala untuk hidup bersama di bawah prinsip universalnya, seperti monoteisme dan etika.

Menganut agama mungkin bukan pilihan. Tapi untuk merasa bangga sebagai bagian dari kemanusiaan dan bagian kebangsaan adalah pilihan.