SEJARAH DESA PALIOI DAN SUMPAH SAKRALNYA
SEJARAH DESA PALIOI DAN SUMPAH SAKRALNYA
Banyak daerah di Bulukumba sarat akan sejarah penting. Salah satu desa bersejarah yang penulis kunjungi adalah Desa Benteng Palioi. Letaknya tidak jauh dari kota, tepatnya di Kecamatan Gantarang. Meski begitu, tidak banyak yang tahu kalau di desa ini dulunya menjadi tempat berkumpulnya para prajurit di zaman perang kerajaan.
Masuk di wilayah Desa Benteng Palioi, Kecamatan Gantarang, Kabupaten Bulukumba, kita akan disuguhi pemandangan alam yang indah. Suasana desa yang masih kental, hamparan sawah yang luas dan ternak berkeliaran bebas memanjakan mata setiap pengunjung. Dari atas bukit inilah orang dapat melihat Kota Bulukumba sambil memikmati sejuknya udara sore hari di bawah beringin raksasa.
Pohon beringin raksasa di desa ini memang menjadi daya tarik tersendiri. Di balik kekekaran beringin yang tingginya lebih dari 45 meter tersimpan sejarah hingga desa tersebut diberi nama Benteng Palioi.
Menjelajah Desa Benteng Palioi kita tidak akan menemukan benteng yang lazimnya ada di sejumlah kerajaan. Hanya ada pohon beringin raksasa itu yang menjadi penanda. Nah, pohon inilah yang disebut benteng palioi. Konon, di tempat tersebut terdapat kerajaan yang dipimpin Sombayya Ripalioi, pemimpin perempuan yang bersuamikan Sombayya ri Barumbung. Ia memiliki seorang panglima perang bernama I Nyonri Dg Massese. Sebelum melakukan perang atau perlawanan, di pohon beringin raksasa inilah para prajurit yang dipimpin I Nyonri Dg Massese berkumpul dan menyusun strategi perang.
Dikisahkan salah seorang penduduk, Hj. Buah (60) yang masih keturunan pemimpin dusun kala itu, di tempat tersebut para prajurit memata-matai pergerakan musuh. Karenanya strategi perang yang tersusun rapi selalu mengalahkan musuh.
I Nyonri Dg Massese merupakan keturunan bangsawan tinggi dari Kerajaan Gowa yang melarikan diri ke daerah yang diperintah Somba ri Palioi. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, ia melarikan diri karena berselisih paham dengan Sombayya ri Gowa dalam hal pewarisan tahta.
Menurut warga yang rumahnya hanya berjarak empat meter dari pohon beringin tersebut, saat Sombayya ri Palioi meninggal dan tidak punya keturunan untuk meneruskan tahtanya, kerajaanpun terpecah. Sombayya ri Barumbung, berpindah dan membuat kerajaan di daerah Campaga di Kindang. I Nyonri Dg Massese pindah ke Burulohe dan warga lainnya juga terpecah.
Dianggap buronan, I Nyonri Dg Massese akhirnya ditemukan dikediamannya oleh prajurit Gowa. Kerajaan Gowa terus melakukan penyerangan tapi tidak berhasil melumpuhkan pasukan I Nyonri Dg Massese. Hingga akhirnya mereka mengepung benteng pertahanannya sampai prajurit tidak dapat keluar dan kelaparan. Meski demikian ia tidak menyerah hingga akhirnya meninggal dalam peperangan tersebut.
Sebelum meninggal, I Nyonri Dg Massese berpesan kepada prajuritnya agar jasadnya dikebumikan di benteng yang telah dibangunnya. Dengan kaki yang mengarah ke Gowa (menjulur). Pertanda meskipun ia telah meninggal namun ia tidak sudi dijajah oleh Gowa. Kuburan tersebut kini dikenal dengan Tonrang Gowa, letaknya di Kampung Benteng Lompoa, Kecamatan Gantarang. Tempat yang tidak jauh dari lokasi ini, katanya tidak boleh dikunjungi oleh keturunan dari Gowa. Pasalnya, sumpah sakral tersebut hingga saat ini masih berlangsung dan entah sampai kapan. Mitos yang masih dipercaya warga setempat, setiap keturunan Gowa yang datang akan mengalami sakit yang luar biasa bahkan tidak sedikit yang sampai meninggal.
Pohon beringin tersebut, menurut, Hj. Buah, usianya sudah ratusan tahun. Sebelumnya ada dua beringin raksasa namun salah satunya telah ditebang warga setempat. Kesakralan yang diyakini, akhirnya penebang pohon itu mendapat kesialan, istrinya jatuh sakit hingga akhirnya meninggal dunia.
“Saya masih kecil, pohon ini sudah seperti ini besarnya. Menurut orang tua saya usianya saat itu melebihi seratus tahun jadi kemungkinan usia beringin ini menghampiri 200 tahun,” ujarnya. Beringin raksasa tersebut tidak ditanam tapi tumbuh dengan sendirinya dan di bawah pohon inilah para prajurit di zamannya berteduh.
Selama tinggal di dekat pohon tersebut, Hj. Buah mengaku tidak pernah mengalami kejadian yang aneh. Ia mengaku sangat menjaga pohon beringin yang diyakini sebagai benteng desa. Saat angin kencang dan puting beliung datang, pohon beringin raksasa itu tetap kokoh di tempatnya. Jika dahannya retak, tidak megenai rumah. Kayunya pun tetap bisa digunakan seperti dijadikan kayu bakar.
“Alhamdulillah ranting dan dahannya tidak pernah jatuh di atap rumah. Jika retak, saya jadikan kayu bakar dan selama ini tidak apa-apa karena pohonnya tidak diganggu,” kata Hj. Buah. Ia meyakini pohon tersebut memiliki penghuni yang berwujud bak seorang putri yang cantik jelita. Ia kadang menampakkan diri namun tidak banyak orang-orang yang pernah melihatnya. Namun penghuni tersebut tidak pernah mengganggu manusia kecuali ia berniat untuk mengganggu pohon tersebut.
Menurut Budayawan Bulukumba, Andika Mappasomba, Benteng Palioi memang tempat berkumpulnya para pasukan kerajaan Sombayya ri Palioi. Pada saat itu atau ratusan tahun silam, memang ada sebuah benteng dengan bentuk pertahanan yang kini hanya tersisa situnya saja. Lokasinya berada disekitar beringin tersebut.
SOURCE :
https://sultansinindonesieblog.wordpress.com/sulawesi/palioi-desa-sulawesi-kab-bulukumba/sejarah-desa-palioi/