Walisongo dalam Sejarah.
Walisongo dalam Sejarah.
Tahun 1595 seorang pedagang belanda bernama Van Dulmen berkunjung ke Sedayu Tuban, di kota itu ia mendapatkan suatu manuskrip jawa yang dituliskan pada daun Lontar, Manuskrip itu dibawa pulang ke Belanda 1597 dan kemudian diserahkan kepada Pustaka Leiden tahun 1599, di Leiden manuskrip tersebut disimpan dengan katalog no XVII tahun 1599.
Manuskrip itu tersimpan tanpa ada yang mengerti isinya sampai pada tahun 1916 Seorang Belanda bernama B.J.O Shrieke meneliti Manuskrip tersebut dan mendapati itu adalah Manuskrip Bonang, dinamakan manuskrip Bonang karena pada akhir manuskrip ditemukan tulisan "Tammat carita cinitra, kang pakreti Pangèraning Bonang” atau "tamat sudah cerita buah karya Pangeran Bonang"
Yang kemudian Naskah tersebut diidentifikasikan sebagai karya Sunan Bonang.
Yang menarik adalah Manuskrip tersebut menggunakan aksara Jawa Baru, artinya Aksara Jawa Baru sudah dipakai semenjak jaman Majapahit karena naskah tersebut kemungkinan dibuat tahun 1500an, ini sesuai penilitian J.G de Casparis yg mengatakan Aksara Jawa Baru sudah dipakai antara abad 14-15.
Penemuan Manuskrip di Sedayu Tuban, menerangkan tentang adanya Dakwah Islam di Tuban pada jaman Majapahit, bahkan Penguasa Tuban pun sudah beragama Islam saat kedatangan Tome Pires antara tahun 1513-1515. Hal ini juga memberikan salah satu bukti keberadaan Dakwah Walisongo terutama Sunan Bonang di Jawa pada masa lampau.
Dari Apa yg didakwahkan di manuskrip terdebut bisa diambil kesimpulan bahwa Walisongo rata" Bermazhab Syafii dan mengambil banyak pelajaran dari Ihya Imam Ghazali, ini juga menutup sedikit tentang teori Gujarat India yg menyebarkan islam di Jawa tetutama jawa timur karena Gujarat lebih ke mazhab Hanafi.