JANGAN BAJAK NAMA KARTINI
JANGAN BAJAK NAMA KARTINI
________________________
Oleh: Siti Nafidah Anshory, SP., M.Ag.
Bagi kalangan pegiat emansipasi, sosok Kartini dianggap pas untuk merepresentasi perjuangan pembebasan perempuan. Tapi benarkah?
Kartini memang perempuan cerdas yang memiliki bacaan jauh ke depan. Bacaan yang jauh melebihi bacaan perempuan kebanyakan di masanya. Masa di mana perempuan tak mendapat tempat semestinya, bukan hanya dalam posisinya sebagai perempuan, tapi juga dalam posisinya sebagai manusia.
Ya, Kartini memang punya begitu banyak keresahan. Melihat akal perempuan dibelenggu oleh adat peninggalan nenek moyang. Dan naluri dibungkam oleh dogma tentang kepatuhan dan stratifikasi manusia berdasarkan keturunan.
Inilah yang Kartini pikirkan. Namun, benarkah Kartini suarakan pembebasan perempuan sebagaimana kaum feminis hari ini menyuarakan?
Jika jujur membaca sejarah berikut surat-surat Kartini, maka kita akan temukan bahwa Kartini adalah perempuan yang sepanjang hayatnya penuh dengan pegulatan ideologi.
Pertemanannya dengan Keluarga Abendanon, sempat membuatnya terkagum pada kehidupan bebas perempuan Barat, bahkan nyaris menjadi alat politik sekularisasi kompeni.
Lalu, persahabatannya dengan Stella dan keluarga Van Kol, juga nyaris membuatnya meninggalkan Islam dan mengadopsi nilai-nilai Kristen dan Sosialisme.
Namun, saat dahaga pemikirannya tersentuh oleh keindahan ajaran-ajaran Islam, Kartini mulai menampakkan kebanggaannya pada jati dirinya sebagai muslimah.
Hingga beliau yakin, tak salah menjadikan Islam sebagai spirit perjuangannya meningkatkan harkat dan martabat kaum perempuan.
Lihatlah apa yg ditulis Kartini. Jika di awal pergulatannya Kartini begitu memuja Barat dengan menulis:
“Orang kebanyakan meniru kebiasaan orang baik-baik; Orang baik-baik meniru perbuatan orang yang lebih tinggi lagi; dan mereka meniru yang tertinggi lagi yaitu orang Eropa.” (Surat Kartini kepada Stella, 25 Mei 1899).
Atau pujiannya pada Belanda:
“Bolehlah negeri Belanda merasa bahagia memiliki tenaga-tenaga ahli yang amat bersungguh-sungguh mencurahkan akal dan pikiran dalam bidang pendidikan dan pengajaran bagi remaja-remaja Belanda. Dalam hal ini, anak-anak Belanda lebih beruntung daripada anak-anak Jawa yang telah memiliki buku selain buku pelajaran sekolah.” (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 20 Agustus 1902).
Di akhir hayatnya, saat Islam mulai lebih jauh dikenalnya, inilah yang Kartini tulis pada sahabat penanya:
“Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah Ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa di balik hal-hal indah dalam masyarakat Ibu terdapat banyak hal yang tidak bisa disebut sebagai peradaban?” (Surat Kartini Kepada Ny Abendanon, 27 Oktober 1902).
“Moga-moga kami mendapat rahmat dapat bekerja membuat umat agama lain memandang Islam patut disukai.” (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902).
Itulah realitas Kartini. Perempuan cerdas nan hanif yang di akhir hayatnya merasa tercerahkan dengan Islam. Yang akhirnya melihat persoalan perempuan dari sudut pandang Islam.
Bahwa perempuan hadir ke dunia adalah sebagai pendidik pertama sehingga harus dididik dan dicerdaskan. Bukan sebagaimana adat Jawa yang menempatkan perempuan bukan sebagai apa-apa, atau sebagaimana budaya Barat berikan kebebasan tanpa batasan.
Bahkan di surat-surat setelahnya, Kartini menegaskan apa yang sebenarnya menjadi cita-citanya dan justru disembunyikan:
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidup. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap dalam melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam (sunnatullah) sendiri dalam tangannya; Menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” (Surat Kartini kepada Prof Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902).
Jadi jelas, menjadikan Kartini sebagai ikon perjuangan emansipasi dan kesetaraan gender adalah sebuah pembajakan sejarah. Yang diinginkan Kartini hanyalah menjadi wanita taat pada ketentuan Rabb-Nya, meski Kartini tak sempat merengguk keluasan ajaran Islam, dikarenakan Alquran tak sempat beliau khatamkan. Di usia belia, beliau harus menghadap Rabb Tuhan Pencipta Alam.
“Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu hamba Allah.” (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 1 Agustus 1903)
Wallaahu a’lam bi ash-shawab